Menjadi seorang
guru merupakan hal yang menyenangkan, tetapi menjadi guru bahasa daerah atau
sering disebut guru mulok memiliki sisi lain. Sisi yang kurang sedap dilihat
dari prespektif prioritas bidang studi karena mungkin bahasa daerah (Bahasa
Sunda) dianggap bukan mata pelajaran yang prinsipil sehingga dianggap kurang
penting. Namun hal tersebut harus segera dipatahkan, karena sejatinya tidak ada
ilmu atau pelajaran yang tidak bermakna, semua memiliki porsi dan dan perannya
masing masing,
Ada problematika
yang mendalam tentang minat para peserta didik terhadap bahasa daerah di era
4.0 ini. Seperti yang kita ketahui, kini generasi Alpha lebih memerlukan bahasa
asing dari pada bahasa daerahnya sendiri. Lantas akan seperti apa nasib bahasa
daerah pada masa yang akan datang? Masihkah digunakan sebagai alat komunikasi?
atau hanya akan menjadi fosil yang tulisannya tergantung di dinding museum.
Namun apapun yang terjadi di masa yang akan datang, saya sebagai pengajar
bahasa daerah merasa bangga pernah menjadi bagian dari tonggak estafet
keberlangsungan bahasa daerah.
Ujaran Johann
Gottfried Harder yang dikutip oleh Hardjapamekas yang selalu saya ingat ketika
asa mengajar mulai pudar adalah “ngatik téh saéstuna mah méré conto jeung
ngawarah diri sorangan, lian ti éta ngan kanyaah” yang bisa dimaknai bahwa sejatinya mengajar adalah memberi
contoh dan mendidik diri sendiri, selain dari itu hanyalah rasa sayang. Jadi
bagi saya, mengajar bahasa daerah adalah salah satu cara untuk memberi contoh
dan mendidik diri saya sendiri agar selalu mencintai, menggunakan dan
melestarikan bahasa yang pertama kali diajarkan seorang ibu, dan selebihnya adalah
bakti saya terhadap generasi bangsa.